
Kiai Abdul Halim putra K.H. Muhammad Iskandar, lahir dengan nama Otong Syatori. Ia merupakan anak terakhir
dari delapan bersaudara dari pasangan K.H. Muhammad Iskandar dan Hj. Siti
Mutmainah. Selain mengasuh pesantren,
ayahnya juga seorang penghulu di Kawedanan, Jatiwangi, Majalengka. Sebagai anak yang
dilahirkan di lingkungan keluarga pesantren, Kiai Halim telah memperoleh pendidikan agama sejak
balita dari keluarganya maupun dari masyarakat sekitar. Ayahnya meninggal ketika
Kiai Halim masih kecil, sehingga ia banyak diasuh oleh ibu dan kakak-kakaknya. Pada umur 21 tahun, Kiai
Halim menikah dengan Siti Murbiyah puteri K.H. Muhammad Ilyas (Penghulu Landraad Majalengka). Pernikahan mereka
dikaruniai tujuh orang anak.
Sejak kecil Kiai Halim
tergolong anak yang gemar belajar. Terbukti ia banyak membaca
ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu kemasyarakatan. Ketika berumur 10 tahun
Kiai Halim belajar al-Qur'an dan Hadis kepada K.H. Anwar, yang sekaligus menjadi guru pertamanya di luar
keluarganya sendiri. K.H. Anwar merupakan
seorang ulama terkenal dari Ranji Wetan, Majalengka. Sebagai penggemar ilmu,
Kiai Halim juga mempelajari disiplin ilmu lainnya, tidak pandang apakah yang
menjadi gurunya sealiran (Islam) ataupun tidak, asalkan dapat bermanfaat bagi
perjuangannya kelak. Hal itu terlihat ketika
Kiai Halim belajar bahasa
Belanda dan huruf
latin kepada Van Hoeven,
seorang pendeta dan misionaris di Cideres, Majalengka.
Setelah banyak belajar di
beberapa pesantren di Indonesia, Kiai Halim memutuskan untuk pergi ke Mekkah untuk melanjutkan mendalami ilmu-ilmu keislaman. Di Mekah, Kiai Halim
berguru kepada ulama-ulama besar di antaranya Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama asal Indonesia yang menetap di Mekah dan menjadi ulama besar
sekaligus menjadi Imam di Masjidil
Haram.
Selama menuntut ilmu di Mekkah, Kiai Halim banyak bergaul dengan K.H. Mas
Mansur yang kelak menjadi Ketua
Umum Muhammadiyah dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul
Ulama dan Rais Am Syuriyah
(Ketua Umum Dewan Syuro) Pengurus Besar organisasi tersebut setelah Kiai Hasjim
Asy'ari meninggal pada tahun 1947. Kedekatan Kiai Halim terhadap
kedua orang sahabatnya yang berbeda latar belakang antara pembaharu dan
tradisional inilah yang membuatnya terkenal sebagai ulama yang amat toleran. Selain belajar langsung
kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Kiai Halim juga mempelajari kitab-kitab para ulama
lainnya, seperti kitab karya Syeikh Muhammad
Abduh, Syeikh Muhammad
Rasyid Ridlo, dan ulama pembaharu
lainnya.Selain itu Kiai Halim juga banyak membaca majalah al-Urwatul Wutsqo maupun al-Manar yang membahas tentang pemikiran kedua ulama tersebut.
Setelah tiga tahun belajar
di Mekkah, Kiai Halim kembali ke Indonesia untuk mengajar. Pada tahun 1911, ia mendirikan lembaga pendidikan Majlis Ilmi di Majalengka untuk mendidik santri-santri di daerah tersebut. Setahun kemudian setelah
lembaga pendidikan tersebut telah berkembang, Kiai Halim mendirikan sebuah
organisasi yang bernama Hayatul
Qulub, yang kemudian Majlis Ilmi menjadi bagian di
dalamnya.
Pada masa
pendudukan Jepang, Abdul Halim diangkat menjadi anggota Cuo Sangi In (semacam dewan
perwakilan). Pada bulan Mei 1945, ia diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan segala
sesuatu yang berhubungan dengan pembentukan negara. Dalam BPUPKI ini
Abdul Halim duduk sebagai anggota Panitia Pembelaan Negara.
Sesudah Republik
Indonesia berdiri, Abdul Halim diangkat sebagai anggota Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Daerah (PB KNID) Cirebon. Selanjutnya ia aktif membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Pada waktu Belanda melancarkan
agresi militer kedua
yang dimulai tanggal 19
Desember 1948, Abdul Halim aktif membantu kebutuhan logistik bagi pasukan TNI dan para gerilyawan. Residen Cirebon juga
mengangkatnya menjadi Bupati Majalengka.
Pada 1928, ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama
dengan K.H.M Anwaruddin dari Rembang dan
K.H. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis
Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada 1937 di Surabaya.
Sesudah perang
kemerdekaan berakhir, Abdul Halim tetap aktif dalam organisasi keagamaan dan
membina Santi Asromo. Namun, sebagai ulama yang berwawasan kebangsaan dan
persatuan, ia menentang gerakan Darul
Islam pimpinan Kartosuwiryo, walaupun ia tinggal di daerah yang dikuasai oleh Darul Islam. la juga
merupakan salah seorang tokoh yang menuntut pembubaran Negara Pasundan ciptaan Belanda.
Dalam periode
tahun 1950-an Abdul Halim pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat dan
kemudian menjadi anggota Konstituante.
K.H. Abdul Halim Ulama
besar tanah Pasundan ini menghadap Ilahi 7
Mei 1962 dan dikebumikan di Majalengka dalam usia 74 tahun. Atas
jasa-jasanya Pemerintah Republik
Indonesia, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan
Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor : 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008.
0 Response to "Biografi Kiai Abdul Halim Majalengka"
Post a Comment